Jumat, 28 Agustus 2009

Si Kemung


6 Agustus 2009
Mati dibantai tetanggaku karena berjuang melindungi anaknya.

Mas Rohmat



Selasa, 18 Agustus 2009

Sepenggal Kisah di Sisi Rimba

Malang nian nasib ibu muda ini.

Mungkin hanya kalimat pernyataan itu yang bisa mewakili sisi kemanusiaanku.

Dalam kehamilannya yang pertama ini, ia mencoba bertahan tanpa didampingi sang suami tercinta.

Adalah ny. Ningsih (18 thn), wanita muda asli Tasikmalaya Jawa Barat itu harus menjaga si jabang bayinya yang telah menginjak usia 8 bulan dalam kandungan sendirian, tanpa sanak saudara di sisi yang selalu siap menjaganya, di tengah dusun kecil yang sangat terpencil, di dalam wilayah kawasan hutan Register 45. Dusun Talang Gunung, Desa Tebing Tinggi namanya.

Suami perempuan ini tengah merantau ke Kalimantan, guna mencari bekal untuk menyambut kelahiran anakn ya kelak.

Namun malang tak dapat ditolak, takdir tak dapat dielak. Pagi itu saat ia hendak mengambil air di sungai, ia jatuh terpleset hingga mengalami pendarahan hebat.

Tiga jam perjalanan menuju ke rumahnya melalui sungai terasa sangat lama sekali.

Tiba dihadapannya, tampak ia telah tergolek lemah. Air mukanya pias pucat bak kapas. Nadinya teraba cepat namun hampir tak terasa. Nafasnya mulai sesak. Tekanan darahnya 60/... mmHg. Perdarahan hebat telah menyebabkan ia mengalami syok hypovolemik.

Segera kupasang infus RL untuk memperbaiki keadaanya.

Namun garis ketetapan Alloh telah dibukukan. Guyuran cairan infus tak mampu menyelamatkan nyawanya. Innalillahi wa inna ilaihi rooji'uun. Ningsih telah berpulang ke pangkuanNya, bersama jabang bayi yang diperjuangkannya.

Puskesmas Margojadi

Awal ditetapkan sebagai puskesmas induk di tahun 1994, Puskesmas Margojadi dipimpin oleh dr. Fauzi. Tahun-tahun sebelumnya, puskesmas ini merupakan sebuah puskesmas pembantu yang menjadi bagian wilayah kerja Puskesmas Simpang Pematang, Kabupaten Lampung Utara, dengan petugas medis dr. Gde.

1996, tampuk pimpinan berada dalam tanggung jawab dr. Bobbie CH. M. Thene, dokter umum alumnus FK Unsri Palembang. Pada masa kepemimpinan beliau, ditugaskan pula bidan-bidan PTT asal Jakarta, antara lain Bidan Tureni, Jackline dan Shinta Wismiati. Pada masa itu bergabung juga drg. Bonarikson Silalahi, dokter gigi PTT alumnus FKG UI, yang turut memperkuat SDM Puskesmas Margojadi.

1998, tongkat estafet kepemimpinan beralih ke tangan dr. Sudharma Halim. Wilayah kerja Puskesmas Margojadi saat itu meliputi 10 desa definitif dan 10 Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT), dengan membawahi 3 pustu dan 13 balai pengobatan transmigrasi.

Ditahun 2000, pimpinan Puskesmas Margojadi dijabat oleh dr. Ahmad Yudianto. Dokter muda asal Surabaya ini merupakan alumnus FK UNAIR. Beliau adalah dokter mutasi dari Puskesmas Rawa Pitu, yang masih dalam satu wilayah Kabupaten Tulang Bawang. 6 bulan selepas habis masa tugas PTT nya, beliau digantikan oleh dr. Fachrisal yang lebih akrab disapa dr. Ipang. Dokter yang hobi mancing ini juga merupakan dokter pindahan dari daerah konflik di Maluku.

2002 dr. Baswara N.E.W. ditugaskan di Puskesmas Margojadi, setelah lulus dari FK UNAIR. Setelah habis masa PTT nya, beliau diangkat menjadi PNS. Kemudian dokter muda yang lincah ini melanjutkan pendidikan pasca sarjana spesialis mata di almamaternya.

Untuk menggantikannya, Departemen Kesehatan menugaskan dr. Y. Didi Purwo Saputro, alumnus FK Universitas Malahayati Bandar Lampung. Dalam masa kepemimpinan beliau, sempat pula ditugaskan drg. Anna Arivianti. Dokter gigi asal Lamongan Jawa Timur ini adalah alumnus FKG Universitas di Jember. Masa tugas PTT beliau hanya selama 1 tahun.

Telah banyak figur pemimpin yang mencoba sebagai leader bagi Puskesmas Margojadi, telah banyak pula model leadership yang coba diterapkan, harapannya han ya satu, tanggung jawab terhadap kesehatan masyarakat sebagaimana yang telah diamanatkan undang-undang adalah hal yang utama.

Kamis, 13 Agustus 2009

Awal Tugas

Maret 1997 adalah titik balik dalam sejarah hidupku.

Setelah menamatkan pendidikan kedinasan, aku ditugaskan di Puskesmas Margojadi, yang jarak tempuh dari Bandar Lampung tak kurang dari 230 km, dengan waktu tempuh 7 jam perjalanan. Untuk mencapai ibukota kabupatenpun (waktu itu masih di Kota Bumi) harus menempuh jarak yang sama.

Maklum, tempat tugasku ini memang daerah yang sangat terpencil. Kendaraan umum hanya ada di pagi hari, akses jalan yang sulit, penerangan listrik yang hany a dari maghrib hingga tengah malam, itupun hanya bisa dikecap oleh orang-orang yang berduit lebih. Orang yang nonton TV bagaikan orang yang nonton layar tancap ramainya.

42 tahun Indonesia merdeka, kok masih ada ya warga negaranya yang masih belum "merdeka"?