Kamis, 18 Oktober 2012


JANGAN RENGGUT SUAMIKU!
By QQ


“Berbeda jauh dengan kakakku, aku adalah salah satu contoh gagal asimilasi perkawinan,”
“Semua berawal sejak dia punya hp baru...” perempuan yang duduk sekira dua meter di depanku itu mulai angkat suara. Sejurus ia terdiam. Tatapan matanya seolah menerawang ke masa lalu.
Sementara di luar,  hujan mulai turun rintik-rintik. Seolah mengerti kesedihan hati dan rasa gundah yang mendera.

Aku keturunan Jawa, dua bersaudara yang kini telah ditinggalkan kedua orang tua. Aku mengenal pria yang  menjadi suamiku, ketika aku pulang libur hari raya Idul Fitri lima belas tahun yang lalu. Aku masih ingat, ketika ia tiba-tiba datang bersama keluarganya untuk melamarku. Entah kekuatan apa yang mendorongku untuk menerima lamarannya, sedangkan ketika itu adalah tahun terakhir sekolahku... nasehat orang tua, tidak mampu lagi mengubah ketetapanku.

***

“Pa... bsk hr pasarn. Aku malu keluar. Mukaku sdh kukompres dgn daun pisang sprti saran papa, tp ttp g ada perubhn... gmn ni pa?”
Kira-kira seperti itulah 126 karakter pesan singkat yang tertulis di layar handphone suamiku. Nomor yang tertera di sana tanpa nama. Ketika kutanyakan hal itu kepada suamiku, dia hanya berkata, “ah... itu sms dari orang yang salah kirim... itu sms dari orang iseng.”
Mendapat jawaban demikian aku hanya bisa terdiam. Aku masih percaya apa kata suamiku.
Namun keesokan paginya, nomor yang sama kembali mengirim sms ke handphone suamiku. Di situ tertulis, “Pa... Gmn ini? Aku malu ke luar... ini gara-gara RDL itu
Penasaran, kuhubungi nomor telpon itu... di seberang sana, suara seorang perempuan menjawabnya... dan orang yang memanggil suamiku dengan sebutan ‘papa’  itu ternyata adalah tetangga kami. Dia tinggal tujuh rumah dari rumah kami.
Meski wajahnya cukup ‘pasaran’, namun karena genit dan berduit, tetanggaku itu termasuk ke dalam golongan perempuan yang lumayan cantik. Mungkin penilaian itu yang ada di dalam otak suamiku.
Gelagat perubahan tingkah suami sebenarnya telah terasa semenjak acara sesaji tiga bulanan anak bungsu kami. Awal mulanya aku tidak percaya akan gunjingan ibu-ibu. Mereka bilang suamiku telah berselingkuh dengan perempuan itu. Kata para tetangga, ada yang pernah memergoki mereka naik motor berboncengan dengan mesra. Tidak hanya satu dua orang yang pernah menjumpainya. Bahkan keponakanku sendiri pernah ketemu mereka pada acara pasar malam yang berlangsung di kecamatan sebelah. Mungkin, sudah  banyak tempat yang telah menjadi saksi bisu pertemuan mereka.
Pagi pamit kerja sebagai mandor panen di perkebunan sawit, tapi pulangnya tengah malam bahkan tak jarang pulang pagi hari. Otomatis tudung saji tak pernah disentuhnya.
Sempat terbersit sebuah pertanyaan di kepalaku, “kira-kira mandor panen apa yang pulangnya pagi?”
Selain itu, mabuk, adu ayam dan judi menjadi kebiasaan baru suamiku. Pos ronda menjadi tempat favorit suami dan teman-temannya untuk berjudi. Bahkan yang kutahu, oknum anggota polisi juga turut serta dalam arena judi itu.
Kini gajinya tak pernah singgah ke rumah barang seperak. Untuk mencukupi kebutuhan dapur, aku terpaksa ikut bekerja serabutan. Kadang menjadi buruh di perkebunan kelapa sawit, dilain waktu menjadi buruh di pabrik roti.
Mengetahui perempuan sundal itu yang menjawab telpon, aku maki-maki dia. Aku ancam dia agar tidak mengganggu suamiku lagi. Namun tanpa dinyana, dari belakang muncul suamiku. Dia memukul, menjambak rambutku, kemudian mendorongku hingga menabrak meja. Melihat keadaanku, bukannya berhenti dia malah menendang, meninju wajah dan mencekik leherku.
Anak sulung kami berusaha mencegah bapaknya memukuli aku... tapi entah ketempelan setan apa, dia selayaknya orang kesurupan malah memukuli si sulung seolah ingin membunuhnya.
“Biarlah bli memukulku, atau silakan bli membunuhku... tapi jangan sekali-kali bli memukul anak-anak...” pintaku kepada suami agar dia berhenti memukuli Wayan.
Sejak kejadian itu, handphone suami tidak pernah lepas dari tangan. Makan, mandi, bahkan buang airpun dibawanya serta.
Malam itu kampung kami geger. Dikeremangan malam, tetangga melihat seseorang ber-udeng melompat keluar dari rumah perempuan itu melalui jendela samping.
”Maliiing... maliiing...!!” ramai orang berteriak-teriak.
Patok kayu di sisi jalan yang biasa menjadi hiasan kampung menjelang Tujuh Belas Agustus berubah menjadi senjata digenggaman. Hanya aku yang tahu... orang yang disangka maling itu adalah suamiku.
“Dor... dor... dor... “ suara pintu depan digedor dengan kasar.
Pekerjaan dapur segera aku tinggalkan. Tergesa-gesa aku membukanya. Di balik pintu berdiri bli  Nyoman, tetanggaku, suami perempuan itu. Dia lemparkan pényéngkér rumah di tangan kirinya ke hadapanku sambil berteriak-teriak mencari suamiku yang kebetulan baru saja pergi.
“orain somah nyaine... de ngganggu-ngganggu somah anak!”[1] bentaknya sambil mengacungkan parang.
Untuk menghibur diri sendiri, aku menganggap mungkin suami mendekati perempuan itu sebagai prasyarat dia sebagai dukun, mengingat perempuan itu adalah juga anak seorang dukun. Di dusun kami, ibu perempuan itu terkenal sebagai leak.
Ku katakan kepada suami, kalau memang dia mencintai perempuan itu.. silakan saja dia bicara baik-baik dan berterus terang kepadaku. Aku ikhlas dicerai. Yang penting dia masih mau membiayai hidup ketiga anak kami. Tapi bukannya keterusterangan yang aku peroleh, dia malah marah-marah tak karuan, kemudian menendang dan memukuliku.
Bukannya tidak sakit, sakit... sangat sakit dan tersiksa batin ini.
Tapi mengingat ketiga anak kami, aku mencoba bertahan. Siapa tahu kelakuan suami bisa berubah. Tapi ternyata... bukannya berubah. Kelakuannya malah semakin menjadi-jadi. Dia berani berbuat serong di  depan mataku. Dia menganggap seolah aku tak ada.
Karena perlakuannya yang kasar, aku merasa lebih aman dan nyaman apabila suami tidak ada di rumah.
Dulu setiap malam, rumah kami tidak pernah sepi dikunjungi tetangga yang sekedar bersilaturahmi. Karena suamiku termasuk orang yang disegani. Dia pernah menjadi Juru Mangku Puré Desé. Setelah tidak menjadi Mangku, dengan kemampuan yang entah dari mana asalnya, dia menjadi ‘orang pintar’ di kampung kami. Tapi kini setelah mereka tahu kelakuan suami, keadaan telah berubah. Kini rumah kami laksana kuburan. Tidak ada satu orangpun yang mau menjejakkan kaki mereka ke halaman rumah kami... tidak seorangpun...
Sering sebelum tidur, sembari berbaring aku menangis, memikirkan nasibku yang seperti ini. Aku hanya bisa mengadu ke arwah kedua orang tua. Andai dulu aku mau mendengar nasehat mereka.
Kadang kala menyelinap perasaan ingin mengakhiri hidup ini... aku sudah tidak kuat lagi... beban hidupku sudah terlalu berat... aku sudah terlalu penat... aku sudah menyerah mempertahankan suamiku...

***

Memang sudah menjadi rahasia umum, bahwa penyakit kelamin adalah “penyakit unggulan” bagi para pekerja di perkebunan. Bagaimana tidak? Berganti-ganti pasangan sudah menjadi hal lumrah di kalangan mereka. Biasanya mereka terlibat affair dengan sesama  buruh perkebunan. Atau apabila pekerja perkebunan itu adalah perempuan yang ‘agak licin jidatnya’, maka ia akan terlibat affair – walaupun tidak bisa digeneralisasi - dengan kuli bongkar muat buah sawit, sopir, mandor atau bahkan dengan asisten kebun.
Motif mereka tentu beragam. Ada yang bermotif ekonomi, kurangnya kasih sayang di rumah (suami di rumah yang ‘penyakitan’), atau memang sifat yang dibawa sejak lahir -suka berpetualang-. Dosa seolah hanya cocok ditulis atau diucapkan di sekolah ataupun di pengajian.
Keberadaan mereka cukup gampang kita kenali. Bagi buruh perempuan, biasanya mereka menggunakan bedak dan gincu tebal ketika berangkat kerja ke perkebunan. Dandanan mereka ibarat orang yang mau kondangan saja. Meskipun setelah pulang, bedak dan gincu itu sudah tak berbekas entah ke mana. Selain itu kata-kata mereka terkesan genit, nyerempet-nyerempet mesum dan penuh rayuan.
Sedangkan bagi yang laki-laki, kita akan mengalami sedikit kesulitan untuk mengidentifikasinya. Keberadaan mereka hanya bisa kita ketahui dengan sedikit agak lama untuk sekedar mengobrol dengan mereka, karena dari pembicaraan itulah kadang-kadang secara tidak sadar mereka membongkar sendiri rahasia ‘petualangan’ mereka.
Handphone menjadi sarana yang amat mendukung bagi kelancaran hubungan mereka. Teknologi yang satu ini ternyata menjadi bumerang bagi orang-orang yang salah memanfaatkannya. Ia telah sanggup mengubah kepolosan masyarakat perkampungan menjadi masyarakat yang licik dan penuh intrik. Ia bisa merubah karakter seseorang, bahkan menggoyahkan iman seseorang sehingga ia mampu mempreteli sendi yang dapat menghancurkan kekokohan biduk rumah tangga, yang ujung-ujungnya berimbas kepada anak-anak mereka yang tak berdosa.
Selain itu,  tayangan media visual yang terus menerus mencekoki mereka dengan gaya hidup hedonisme ikut berpengaruh terhadap perubahan gaya hidup dan prilaku ini, meskipun setahuku belum ada pembuktian secara ilmiah untuk menjelaskan korelasinya.
 Subé me’...” suara lelaki kecil dalam gendongan perempuan itu membuyarkan lamunanku.
Dalam batin aku berkata, “sabar mbok... jangan bunuh diri dulu... Tuhan Maha Mengetahui...”

Sementara di luar, hujan masih turun rintik-rintik...


Margojadi, 22 Februari 2012
Pkl 20.28 WIB

Bli                               : (bhs Bali) kakak laki-laki atau laki-laki yang
  Dituakan.
Juru mangku/Mangku : semacam imam atau pendeta dalam Agama Hindu
Puré Desé                    : pura utama di wilayah suatu daerah, kadang juga
  disebut sebagai  Puré Bésékh (Pura Besar), selain
  juga terdapat Puré  Dalém   (Pura Dalam).
Leak                            : hantu jadi-jadian dalam tradisi suku Bali, yang
  biasanya dilakoni oleh   perempuan berilmu hitam. 
  Konon di malam tertentu (biasanya saat bulan mati) 
  mereka  berubah wujud  menjadi makhluk yang
  dikehendaki  sesuai  dengan tingkatan keilmuan
  mereka. Mereka berkumpul di  pemakaman untuk
  saling mengadu ilmu kesaktian. Ada juga leak yang
  suka  mengganggu bayi dan anak-anak.
Mbok                           : (bhs Bali) kakak perempuan atau perempuan yang
                                      dituakan.
Pényéngkér                 : semacam buntalan yang dipercayai sebagai jimat,
  biasanya digunakan sebagai pelindung secara
  magis.
RDL                            : merk kosmetik mengandung hidroquinoin yang
  dilarang beredar oleh  Balai Besar POM namun
  faktanya  tetap marak beredar di pasaran. Biasanya
  digunakan sebagai pemutih wajah.
Subé me’                     : (bhs Bali) sudah bu.
Udéng                         : ikat kepala laki-laki khas adat Bali.



[1] “omongi suamimu... jangan mengganggu-ganggu istri orang!”

Sabtu, 11 Februari 2012

Kisah-kisah Inspiratif


Sang Juru Parkir

Minggu pagi, 15 Januari 2012

Pasar tradisional Perumnas Way Halim, pagi ini lumayan mulai agak diramaikan oleh transaksi jual beli para pedagang dan pembeli. Selain itu keadaan semakin diramaikan pula dengan kehadiran para pengunjung, terutama orang-orang yang sarapan setelah  mereka berolah raga di PKOR Way Halim.

Para penjual makanan seperti penjual ketoprak, mi ayam, bubur ayam, sate padang tampak sibuk. Masing-masing tampak sibuk melayani pembeli yang berjubel di los khusus penjual makanan itu. Apa lagi cuaca mulai tak bersahabat. Hujan rintik-rintik yang berubah semakin deras mulai tercurah dari langit. Banyak orang berlarian mencari tempat berteduh. Los khusus penjual makanan itupun menjadi sasaran mereka. Namun ternyata, tampak seseorang tidak termasuk orang yang berlarian mencari tempat untuk berteduh itu. Ia malah sibuk merapikan deretan sepeda motor yang terparkir di depan los khusus penjual makanan itu. Dia adalah Mr. X. Seorang tukang parkir. Usianya mungkin sekitar 29 tahunan. Namun jika diperhatikan dengan seksama, ternyata pemuda juru parkir tersebut mengalami cacat tubuh. Ia tidak mempunyai tangan sebelah kanan. Namun  demikian, dengan penuh tanggung jawab ia melaksanakan tugasnya sebagai juru parkir meskipun keadaan sedang turun hujan yang mulai turun dengan derasnya ...


Mbak Rus

Senin Pagi, 16 Januari 2012, pkl 08.28 WIB, di dalam bus kota Rajabasa-Panjang

Matahari pagi mulai menyengat. Hari Senin, seperti biasa aku harus kembali menuju tempat tugasku di ujung Lampung. Di dalam bus kota trayek Rajabasa-Panjang penumpang nampak beragam. Dari bapak-bapak, ibu-ibu hingga mbak-mbak yang akan menuju kuliah. Anak sekolah menengah yang biasanya mendominasi isi bus sudah tak nampak. Maklum aku berangkat memang agak kesiangan.

Ketika aku naik bus bertuliskan kaca depan “Xpose” ini, hanya tinggal dua bangku yang tak terisi. Setelah beberapa menit berjalan, sopir bus menepikan sejenak kendaraannya di perempatan lampu merah Way Halim. Di perempatan ini turun dan naik beberapa orang penumpang, termasuk seorang perempuan, yang mungkin usianya 38 tahunan. Dengan membawa tas cangklong warna hitam yang kukira berisi buku atau semacamnya, masalahnya tas itu nampak agak berat. Wanita muda itu naik dari pintu depan bus. Meskipun ada beberapa bangku yang kosong, mbak berbaju orange itu malah tetap berdiri dekat pintu di mana ia naik tadi.

08.40 WIB, dengan terseok sambil “terbatuk-batuk”, bus ini mulai meninggalkan perempatan Way Halim.

Beberapa saat kemudian wanita muda di dekat pintu itu mulai membuka tas hitamnya. Dikeluarkannya sebuah mikrofon wireless, kemudian dibukanya resleting tas cangklung yang dibawanya. Setelah menyampaikan salam, perempuan itu memohon izin kepada awak bus dan penumpang untuk mengamen. Tanpa menunggu persetujuan seisi bus, ia mulai melantunkan sebuah lagu...

“kau yang ku anggap sebagai teman biasa
Tapi kebaikanmuuu... melebihi orang yang kucintai...”

Mendekati jembatan yang melintasi rel kereta api Kampung Baru Unila, perempuan itu sudah selesai dengan aktivitasnya menyanyikan lagu dan meminta sumbangan uang kepada penumpang yang baik hati mau berbagi rezeki dengannya. Kemudian di bangku paling belakang ia nampak duduk dan berbincang dengan seorang penumpang yang tadi ikut berbagi dengannya.
“sudah lama mbak nyanyi?”
“baru dua hari pak.”
“emang suami ke mana mbak?”
“suami lagi dipenjara pak.”
“kasus apa? Narkoba?”
“bukan pak, judi koprok. Cuma sekarang udah bebas, tapi dia enggak mau pulang ke Lampung, mungkin malu. Jadi ya terpaksa saya ngamen buat sekolah anak-anak.”
“oo... zaman sekarang kerja apapun jadilah mbak, yang penting halalkan..? Emang bapaknya di penjara mana mbak?”
“di Bekasi pak, dulu kami ikut ayuk yang di sana. Sekarang bapaknya jadi sopir angkot.”
“aslinya dari mana mbak?”
“ saya dari Pringsewu pak.”
“anaknya sudah kelas berapa mbak?”
“yang besar sudah kelas tiga es-em-a di Ambarawa, yang kecil kelas tiga madrasah tsanawiyah pak.”
“maaf, ngomong-ngomong nama mbaknya siapa ya?”
“nama saya Ruswiyati pak...”

...... pagi itu, di atas sebuah bus kota.... Panjang-Rajabasa.....


Senin pagi, 16 Januari 2012
Pkl 08.59 WIB

Terminal Rajabasa.....

Sang surya yang mulai menyengat, seolah tak peduli akan hiruk pikuk manusia yang mulai memadati terminal bus antar propinsi Terminal Induk Rajabasa.

Penumpang bus ini tinggal beberapa orang termasuk mbak Ruswiyati yang kembali melanjutkan hidupnya. Sebagian penumpang yang lain telah turun di Bundaran Tugu Radin Intan II tadi.

Segera aku menuju loket bus AC Po. Puspa Jaya jurusan Rajabasa – Unit 2.

“jurusan mana pak?” tanya penjaga loket.
“unit dua li”  kataku.
“berapa orang?” tanyanya kemudian.
“satu orang” jawabku.
“dua puluh tujuh ribu.”
Kuserahkan sejumlah uang yang dimintanya.
“makasih li, ngomong-ngomong busnya yang mana li?” tanyaku kemudian.
“yang paling pinggir pak.” Jawabnya

Selanjutnya aku bergerak keluar dari ruangan loket. Di dekat pintu berdiri seorang nenek, yang mungkin berusia sekitar 60 tahunan. Dengan sigap ia menawarkan dagangan yang berada di dalam bopongannya.

“minuman nak”
“inggih mbah (iya mbah)... niki pinten mbah (ini berapa mbah)?” tanyaku sambil menunjuk salah satu merk minuman yang ditawarkannya.
“gangsal ewu nak (lima ribu nak).” Jawabnya
Segera kubayar harga yang disebutkan siembah itu.
“mugi-mugi laris mbah (moga-moga laris mbah).” Kataku.
“injeh nak, mugi-mugi selamet dugi tujuan (iya nak, moga-moga selamat sampai tujuan).” Kata mbah A itu kemudian

Mr. x, mbak Rus, mbah A...
mereka adalah orang-orang yang tidak pantang menyerah kepada keadaan...
mereka adalah orang-orang hebat, orang-orang yang  sanggup mengemban janjinya untuk berjuang mengais rezeki yang halal ditengah  padang pasirnya dunia ini... salut untuk mereka...
tidak seperti “orang-orang di sana” yang mencuri uang rakyat...
menggerogoti pondasi ekonomi negara ini...
yang tidak merasa malu terhadap mr. X, mbak Rus dan mbah A...

Selasa, 24 Januari 2012

Wanita Seindah Hasna 'Tsurayya



Pemuatan cerpen berikut ini,  sudah atas perkenan pengarangnya


Wanita Seindah Hasna’ Tsurayya

Hasna mau ikut!” rajuknya kepada Kakaknya itu.
Wajah kakak laki – lakinya itu masih diam membetut, alisnya bersinggungan mengkerut – kerut tak jelas.
Ayolah Kak, Hasna ikut ya. Hasna kuat kok, sekarung berasnya mbok Ijah aja sanggup Hasna angkat” jelasnya merayu kakak nya yang tak kunjung luluh.
Apa karena Hasna wanita?” katanya kemudian sambil memasang wajah memelas andalannya berharap Kakaknya mau mengajaknya.
Iya” akhirnya Kakaknya yang duduk disampingnya itu mengucapkan satu kata.
Wajah Hasna berubah seketika dan ia terdiam. Bulan menampakkan jelas malam itu, ada bercak – bercak seperti noda di dalamnya. Para bintang bertebaran sepanjang mata memandang di langit. Mereka hanya memanjakan mata melihat pesona bulan dan para bintang itu, duduk berdua di teras rumah mereka. Pesona itu sedikit meredam amarahnya untuk kesekian kalinya dalam menghadapi kakaknya yang kepala batu itu. Hanya hening yang menjawab antara Hasna dan kakaknya itu.
+++++>
“Aku benci ama kak Daffa” kalimat itu terlontar tiba – tiba di depan lelaki bertubuh tegap di sampingnya.
Apa karena aku wanita, kenapa wanita selalu dinomor duakan dan dipandang sebelah mata”
Dan Hasna berceloteh sendiri di depan Farras. Farras hanya diam dan terkadang manggut – manggut mengiyakan pernyataan Hasna. Farras berpikir mungkin si Hasna lagi kejatuhan bulan, maka emosinya labil. Farras adalah sepupu sekaligus tetangga Hasna.
Istighfar, Na” sesekali Farras memotong pembicaraan Hasna yang mulai panjang kali lebar sama dengan luas itu.
Gadis berkerudung pink itu akhirnya diam. Hasna berpikir mungkin diam adalah senjata paling efektif untuk meredamkan emosi.
Matahari makin condong ke barat, bersembunyi di balik pohon rindang di hadapan mereka. Jalanan setapak itu mulai sepi. Merekapun mulai berjalan dengan cepat untuk pulang ke rumah bersama. Wajah mereka sama – sama terlihat layu. Layu karena lelah menghadapi mata kuliah yang begitu padat. Namun terkadang wajah Hasna terlihat berpikir keras. Matanya menatap tajam, bibirnya manyun dan keningnya mulai berkerut.
Aku terkadang lelah jadi wanita, aku merasa tidak bebas”
Kata – kata itu seperti menggores hati Farras. Farras menghentikan langkahnya. Ia ingin sekali berkata, namun lagi – lagi mulutnya terkatup rapat seperti ada yang mengganjal di tenggorokannya. Ia kaku sejenak tak mengira seorang gadis seperti Hasna mengeluarkan kalimat frontal seperti itu. Farras pun menggerakkan kakinya kembali dan menyusul Hasna yang sudah mendahuluinya beberapa langkah. Hening lagi – lagi menjawab.
+++++>
Farras mengintip dari balik jendela kamarnya, dilihatnya Hasna sedang membaca buku di depan teras rumah. Farras kemudian mengambil sebuah buku bersampul putih dan pergi meninggalkan kamarnya.
“Na, ke gubuk di sawahnya mbok Ijah yuk” tiba – tiba Farras telah berada di hadapan Hasna.
Hasna langsung meraih sandalnya dan pergi mengikuti langkah Farras. Letak sawah Mbok Ijah memang tidak begitu jauh dari rumah mereka. Mereka sering sekali menghabiskan waktu di sana, apalagi ketika mereka SMP; memancing bersama dengan Kak Daffa atau membantu panen mbok Ijah.
Suara alam yang menjernihkan pikiran mulai mereka dengar. Langkah Farras mulai melambat ketika tepian sawah mulai ditapakinya. Kakinya beradu dengan gelagah dan rerumputan yang rimbun menutupi jalanan setapak itu. Hasna mengikutinya dengan hati – hati dan menjaga keseimbangan di jalan yang sempit. Terkadang Hasna harus menjinjing roknya sedikit agar tidak terciprat lumpur sawah.
Dari kejauhan mulai terlihat gubuk beratap jerami. Gubuk yang tidak begitu besar hanya dua kali dua meter terletak di tengah sawah. Matahari kian meninggi. Jilatan – jilatan senyumnya menciptakan pantulan kristal di kali kecil. Burung – burung yang sedang sibuk mencari bulir – bulir padi yang siap panen itu terbang berhamburan ketika Hasna dan Farras melewati jalan setapak.
Na, Kak Daffa. Kapan pulang dari pendakian?” tanya Farras tiba – tiba ketika sampai di gubuk itu.
Minggu depan, kok kamu gag ikut Ras?”
Banyak tugas” jawabnya datar.
Aku jengkel! gag dapat izin dari kak Daffa”
Farras hanya diam tidak menanggapi kalimat yang keluar dari mulut mungil Hasna. Farras hanya mematung menatap pemandangan di hadapannya. Pemandangan hijau kekuniangan dan biru itu terlukis apik di hadapan mereka, angin berhawa panas kian riuh mengibarkan jilbab berwarna vanilla milik gadis berwajah ayu itu. Mereka sibuk dengan buku mereka masing – masing. Sesekali mereka beranjak membenarkan posisi sambil menengadah langit dan kemudian melanjutkan bacaan mereka lagi.
Ada yang ingin aku klarifikasi Na” celetuk lelaki berkulit putih itu tiba – tiba.
Hah” pandangan Hasna seketika menoleh Farras.
Kenapa kamu tidak bersyukur menjadi wanita?” raut muka Farras tiba – tiba makin serius.
Aku merasa tidak bebas, Ras. Apalagi konsep wanita dimata kak Daffa. Wanita bagi kak Daffa itu seperti dipandang sebelah mata, kaum yang lemah. Pergi jauh, gag boleh. Pergi malam, dilarang. Sekolah tinggi, ujung – ujungnya jadi pelayan suami ketika berkeluarga. Belum lagi sakit datang bulan dan melahirkan. Kak Daffa juga bilang kata hadis Bukhari. Tidak akan sukses suatu kaum yang mengangkat seorang wanita sebagai pemimpin “ jelasnya dengan wajah kesal.
Farras hanya senyum – senyum mendengar Hasna mulai berbicara tak berhenti.
Mana di neraka, spesies paling banyak wanita. Kenapa sih mesti wanita” lanjut gadis tinggi itu sambil memasang wajah cemberutnya.
Hushhh…Jadi kamu beranggapan jadi wanita itu sengsara?” tanya sepupu itu.
Sedikit…lebih sengsara dari pria” jawab gadis itu ragu – ragu.
Ada satu hal yang kamu lupa dan itu sangat mendasar” Farras mulai menutup buku bacaannya itu secara perlahan dan melempar pandangannya ke birunya langit.
Hah” Hasna tercengang dan ia mulai menunduk.
Wanita itu istimewa. Surga itu di telapak kaki ibu. Ibu adalah seorang wanita. Setiap pria lahir dari rahim seorang Ibu” Farras melantunkan kata itu dengan halus.
Mau dengar konsepku tentang wanita?” tanya Farras kemudian sambil memperhatikan Hasna yang mulai berpikir.
Alloh menciptakan wanita memang terlihat rapuh dan lembut, namun sebenarnya ia lebih kuat dari pria. Bayangkan saja wanita lebih lama bekerja dibandingkan pria. Kau bisa tengok Umi-ku dirumah yang berkerja nonstop 24 jam untuk keluarganya. Banyak orang bilang wanita itu penuh dengan air mata. Memang, namun air mata itu salah satu untuk mengekspresikan kegembiraan, penderitaan, kesepian, kegalauan, cinta dan kebanggaan. Hatinya akan menangis mendengar berita sedih. Ia akan menangis jika anaknya menjadi pemenang. Ia akan begitu bahagia mendengarkan kelahiran. Ia dapat tersenyum bahkan hatinya sedang menjerit. Menyanyi walau hatinya menangis. Ia akan selalu tampak tegar menyemangati suaminya ketika gagal. Ia selalu punya kekuatan untuk mengatasi hidup. Ia tahu bahwa sebuah pelukan untuk suaminya dan untuk keluarganya dapat menyembuhkan luka”.
Ternyata pikiranku sangat sempit” kata gadis itu sambil memainkan ujung jilbabnya dengan jari – jemarinya. Hasna mencermati setiap perkataan Farras. Air matanya mulai mengalir membelai wajah ayunya. Farras hanya diam sejenak dan melanjutkan perkataannya.
Aku pernah membacanya dari internet” kemudian Farras melanjutkan kata – katanya.
Wanita…dengan kecantikanmu, ia lebih elok dari matahari.
Dengan akhlakmu engkau lebih harum dari haruman.
Dengan rendah hatimu, engkau lebih tinggi dari rembulan.
Dengan kelembutanmu, engkau lebih halus dari rintik hujan.
Aku ingin jadi wanita sholehah” desah gadis itu, ia pun tersenyum dan wajahnya mulai tampak berseri seperti mentari yang mulai muncul dari balik ilalang.
Farras hanya tersenyum simpul melihat saudari yang dikasihinya itu. Angin mengalun – alun ditelinga mereka, menyesap dari sela – sela padi yang makin menua. Sibakan – sibakan padi itu serempak mengikuti arah angin. Awan seputih kapas itu terlihat merubah diri setiap detik mirip dengan benda maupun makhluk dikehidupan. Mentari mulai bergeser dari posisinya dan akan bertemu dengan cakrawala di ufuk barat. Rona – rona sepia mula terkanvas menyemburat di langit yang mulai kelabu.
++++>
“Assalamuallaikum”
Suara yang begitu dikenal Hasna itu terdengar sayup di balik pintu rumahnya.
“Wallaikumsalam” balas Hasna dengan segera membukakan pintu untuk Kakaknya itu.
Hasna mengambil segelas air putih dari dapur dan kembali menemui kakaknya itu. Kemudian ia sibuk kembali menyetrika pakaian. Wajah kakaknya seakan penuh tanya. Sepertinya ada yang berubah dari adik yang biasanya kritis itu. Daffa masih memandang wajah Hasna dan berpikir hal apa yang merubah sifat adiknya yang biasanya marah – marah jika keinginannya tidak dipenuhi menjadi begitu berseri.
Sebenarnya kakak mau mengajak kamu naik gunung itu, Na. Tapi…semuanya kan teman cowok kakak jadi…” kata pria berahang jelas seperti tepian es itu.
Hasna tahu. Kakak pasti tahu yang terbaik untuk Hasna. Hasna bersyukur kok menjadi wanita” jawab gadis itu sambil tersenyum manis memandang keluarga kandung satu – satunya itu.
Mereka memandang satu sama lain dengan penuh makna. Berbalas senyum persaudaraan yang mungkin telah lama mereka tak lakukan setelah Ayah dan Ibunya meninggal karena kecelakaan beberapa tahun yang lalu.
Kamu tahu, Na. Kenapa Ayah dan Ibu memberimu nama Hasna Tsurayya?” tanya Daffa sambil melepaskan kedua sepatunya.
Hasna menghentikan sejenak kegiatan menyetrikannya.
Hmm…artinya kumpulan bintang yang indah?” jawab Hasna sambil menggaruk kepalanya padahal tidak terasa gatal.
Ayah dan Ibu ingin kamu seperti itu. Wanita yang indah dipandang tapi sulit diraih seperti kumpulan bintang yang indah. Wanita itu istimewa, Na” terang kakaknya yang mulai bangun dari tempat duduknya sambil membereskan peralatan kemahnya.
Wanita itu sesuatu yang paling sulit untuk dijaga karena dia itu sangat berharga. Talmud Hibrani pernah menerangkan untuk tidak boleh membuat wanita menangis karena Tuhan menghitung butir – butir air matanya. Kalau pernyataan ini kamu pasti sering dengar, wanita itu diciptakan dari rusuk lelaki, bukan dari kakinya untuk menginjaknya, tidak dari kepalanya untuk menguasainya, tetapi disisinya agar keduanya menjadi setara, dalam dekapanya untuk melindunginya, dalam relung hati untuk mencintainya” terang kakaknya sembari mondar – mandir ke kamar mandi membereskan pakaiannya.
Tenang, kak! Aku bangga menjadi wanita apalagi jika bisa seindah Hasna’ Tsurayya” desah gadis sunda itu dengan senyum manjanya yang khas kepada kakaknya yang dicintainnya.
Jadilah gadis yang baik hingga kau menemukan suamimu dan jadilah istri dan ibu yang baik pula, Na. Selalu pelihara sifat baikmu dan rubahlah perlahan sifat yang dibenci Alloh” kata kakaknya kemudian menghilang ke arah dapur.
Kata – kata kakaknya itu akan diingat Hasna selalu.



Pengarang :
Nama : Yuni Ambarwati Atmo
Nama Pena : Amrana Adibah Atmo
TTL : Kota Agung, 10 Juni 1989
Alamat : Desa Serdang Blok 4 A, RT 01/ RW 04 Kec. Tanjungbintang Kab. Lampung Selatan, Lampung Kode Pos 35 361
Kantor : Puskesmas Margojadi, Kec. Mesuji Timur Kab. Mesuji
No. handphone : 085381236xxx/085768643xxx
E-mail : yuniambarwatiatmo@yahoo.com
Alamat Jejaring : Facebook/Yuni Ambarwati
Twitter/Hasna Tsurraya

Namaku Yuni Ambarwati, namaku di dunia kepenulisan Amrana Adibah Atmo,.. hehe. Tidak tahu dapat hikmah apa namanya jadi bagus begitu. Yang pasti aku ingin berkreasi disunia seni dan menciptakan sesuatu yang indah. Makhluk yang serba kurang proporsional dan pencinta film yang sering berandai-andai jadi film maker. Lalu berpikir untuk memulainya dengan menulis, karena juga memiliki hoby merangkai kata, ternyata malah jatuh cinta dengan dunia ini. I’m only a little girl tapi berharap memiliki imajinasi besar dan menjadi penulis sungguhan.
___________________________________________________________________________