JANGAN
RENGGUT SUAMIKU!
By QQ
“Berbeda jauh dengan kakakku, aku adalah
salah satu contoh gagal asimilasi perkawinan,”
“Semua berawal sejak dia punya hp baru...”
perempuan yang duduk sekira dua meter di depanku itu mulai angkat suara.
Sejurus ia terdiam. Tatapan matanya seolah menerawang ke masa lalu.
Sementara di luar, hujan mulai turun rintik-rintik. Seolah
mengerti kesedihan hati dan rasa gundah yang mendera.
Aku keturunan Jawa, dua
bersaudara yang kini telah ditinggalkan kedua orang tua. Aku mengenal pria
yang menjadi suamiku, ketika aku pulang
libur hari raya Idul Fitri lima belas tahun yang lalu. Aku masih ingat, ketika
ia tiba-tiba datang bersama keluarganya untuk melamarku. Entah kekuatan apa
yang mendorongku untuk menerima lamarannya, sedangkan ketika itu adalah tahun
terakhir sekolahku... nasehat orang tua, tidak mampu lagi mengubah ketetapanku.
***
“Pa... bsk hr pasarn. Aku
malu keluar. Mukaku sdh kukompres dgn daun pisang sprti saran papa, tp ttp g
ada perubhn... gmn ni pa?”
Kira-kira seperti itulah 126 karakter pesan
singkat yang tertulis di layar handphone suamiku. Nomor yang tertera di
sana tanpa nama. Ketika kutanyakan hal itu kepada suamiku, dia hanya berkata, “ah...
itu sms dari orang yang salah kirim... itu sms dari orang iseng.”
Mendapat jawaban demikian aku hanya bisa terdiam.
Aku masih percaya apa kata suamiku.
Namun keesokan paginya, nomor
yang sama kembali mengirim sms ke handphone suamiku. Di situ tertulis, “Pa...
Gmn ini? Aku malu ke luar... ini gara-gara RDL itu ”
Penasaran, kuhubungi nomor telpon itu... di
seberang sana, suara seorang perempuan menjawabnya... dan orang yang memanggil
suamiku dengan sebutan ‘papa’ itu
ternyata adalah tetangga kami. Dia tinggal tujuh rumah dari rumah kami.
Meski wajahnya cukup ‘pasaran’,
namun karena genit dan berduit, tetanggaku itu termasuk ke dalam golongan
perempuan yang lumayan cantik. Mungkin penilaian itu yang ada di dalam otak
suamiku.
Gelagat perubahan tingkah
suami sebenarnya telah terasa semenjak acara sesaji tiga bulanan anak bungsu
kami. Awal mulanya aku tidak percaya akan gunjingan ibu-ibu. Mereka bilang
suamiku telah berselingkuh dengan perempuan itu. Kata para tetangga, ada yang
pernah memergoki mereka naik motor berboncengan dengan mesra. Tidak hanya satu
dua orang yang pernah menjumpainya. Bahkan keponakanku sendiri pernah ketemu
mereka pada acara pasar malam yang berlangsung di kecamatan sebelah. Mungkin,
sudah banyak tempat yang telah menjadi
saksi bisu pertemuan mereka.
Pagi pamit kerja sebagai
mandor panen di perkebunan sawit, tapi pulangnya tengah malam bahkan tak jarang
pulang pagi hari. Otomatis tudung saji tak pernah disentuhnya.
Sempat terbersit sebuah pertanyaan di kepalaku,
“kira-kira mandor panen apa yang pulangnya pagi?”
Selain itu, mabuk, adu ayam
dan judi menjadi kebiasaan baru suamiku. Pos ronda menjadi tempat favorit suami
dan teman-temannya untuk berjudi. Bahkan yang kutahu, oknum anggota polisi juga
turut serta dalam arena judi itu.
Kini gajinya tak pernah singgah
ke rumah barang seperak. Untuk mencukupi kebutuhan dapur, aku terpaksa ikut bekerja
serabutan. Kadang menjadi buruh di perkebunan kelapa sawit, dilain waktu
menjadi buruh di pabrik roti.
Mengetahui perempuan sundal
itu yang menjawab telpon, aku maki-maki dia. Aku ancam dia agar tidak
mengganggu suamiku lagi. Namun tanpa dinyana, dari belakang muncul suamiku. Dia
memukul, menjambak rambutku, kemudian mendorongku hingga menabrak meja. Melihat
keadaanku, bukannya berhenti dia malah menendang, meninju wajah dan mencekik
leherku.
Anak sulung kami berusaha
mencegah bapaknya memukuli aku... tapi entah ketempelan setan apa, dia
selayaknya orang kesurupan malah memukuli si sulung seolah ingin membunuhnya.
“Biarlah bli memukulku,
atau silakan bli membunuhku... tapi jangan sekali-kali bli memukul
anak-anak...” pintaku kepada suami agar dia berhenti memukuli Wayan.
Sejak kejadian itu, handphone
suami tidak pernah lepas dari tangan. Makan, mandi, bahkan buang airpun
dibawanya serta.
Malam itu kampung kami geger.
Dikeremangan malam, tetangga melihat seseorang ber-udeng melompat
keluar dari rumah perempuan itu melalui jendela samping.
”Maliiing... maliiing...!!” ramai orang
berteriak-teriak.
Patok kayu di sisi jalan yang biasa menjadi hiasan
kampung menjelang Tujuh Belas Agustus berubah menjadi senjata digenggaman.
Hanya aku yang tahu... orang yang disangka maling itu adalah suamiku.
“Dor... dor... dor... “ suara
pintu depan digedor dengan kasar.
Pekerjaan dapur segera aku tinggalkan.
Tergesa-gesa aku membukanya. Di balik pintu berdiri bli Nyoman, tetanggaku, suami perempuan itu. Dia
lemparkan pényéngkér rumah di tangan kirinya ke hadapanku sambil
berteriak-teriak mencari suamiku yang kebetulan baru saja pergi.
“orain somah nyaine... de
ngganggu-ngganggu somah anak!”[1]
bentaknya sambil
mengacungkan parang.
Untuk menghibur diri sendiri,
aku menganggap mungkin suami mendekati perempuan itu sebagai prasyarat dia
sebagai dukun, mengingat perempuan itu adalah juga anak seorang dukun. Di dusun
kami, ibu perempuan itu terkenal sebagai leak.
Ku katakan kepada suami, kalau
memang dia mencintai perempuan itu.. silakan saja dia bicara baik-baik dan berterus
terang kepadaku. Aku ikhlas dicerai. Yang penting dia masih mau membiayai hidup
ketiga anak kami. Tapi bukannya keterusterangan yang aku peroleh, dia malah
marah-marah tak karuan, kemudian menendang dan memukuliku.
Bukannya tidak sakit, sakit...
sangat sakit dan tersiksa batin ini.
Tapi mengingat ketiga anak kami, aku mencoba
bertahan. Siapa tahu kelakuan suami bisa berubah. Tapi ternyata... bukannya
berubah. Kelakuannya malah semakin menjadi-jadi. Dia berani berbuat serong
di depan mataku. Dia menganggap seolah
aku tak ada.
Karena perlakuannya yang
kasar, aku merasa lebih aman dan nyaman apabila suami tidak ada di rumah.
Dulu setiap malam, rumah kami
tidak pernah sepi dikunjungi tetangga yang sekedar bersilaturahmi. Karena suamiku
termasuk orang yang disegani. Dia pernah menjadi Juru Mangku Puré Desé. Setelah
tidak menjadi Mangku, dengan kemampuan yang entah dari mana asalnya, dia
menjadi ‘orang pintar’ di kampung kami. Tapi kini setelah mereka tahu kelakuan
suami, keadaan telah berubah. Kini rumah kami laksana kuburan. Tidak ada satu
orangpun yang mau menjejakkan kaki mereka ke halaman rumah kami... tidak
seorangpun...
Sering sebelum tidur, sembari
berbaring aku menangis, memikirkan nasibku yang seperti ini. Aku hanya bisa mengadu
ke arwah kedua orang tua. Andai dulu aku mau mendengar nasehat mereka.
Kadang kala menyelinap perasaan
ingin mengakhiri hidup ini... aku sudah tidak kuat lagi... beban hidupku sudah
terlalu berat... aku sudah terlalu penat... aku sudah menyerah mempertahankan
suamiku...
***
Memang sudah menjadi rahasia
umum, bahwa penyakit kelamin adalah “penyakit unggulan” bagi para
pekerja di perkebunan. Bagaimana tidak? Berganti-ganti pasangan sudah menjadi
hal lumrah di kalangan mereka. Biasanya mereka terlibat affair dengan
sesama buruh perkebunan. Atau apabila
pekerja perkebunan itu adalah perempuan yang ‘agak licin jidatnya’, maka ia
akan terlibat affair – walaupun tidak bisa digeneralisasi - dengan kuli
bongkar muat buah sawit, sopir, mandor atau bahkan dengan asisten kebun.
Motif mereka tentu beragam.
Ada yang bermotif ekonomi, kurangnya kasih sayang di rumah (suami di rumah yang
‘penyakitan’), atau memang sifat yang dibawa sejak lahir -suka berpetualang-. Dosa
seolah hanya cocok ditulis atau diucapkan di sekolah ataupun di pengajian.
Keberadaan mereka cukup
gampang kita kenali. Bagi buruh perempuan, biasanya mereka menggunakan bedak
dan gincu tebal ketika berangkat kerja ke perkebunan. Dandanan mereka ibarat
orang yang mau kondangan saja. Meskipun setelah pulang, bedak dan gincu itu
sudah tak berbekas entah ke mana. Selain itu kata-kata mereka terkesan genit,
nyerempet-nyerempet mesum dan penuh rayuan.
Sedangkan bagi yang laki-laki,
kita akan mengalami sedikit kesulitan untuk mengidentifikasinya. Keberadaan
mereka hanya bisa kita ketahui dengan sedikit agak lama untuk sekedar mengobrol
dengan mereka, karena dari pembicaraan itulah kadang-kadang secara tidak sadar
mereka membongkar sendiri rahasia ‘petualangan’ mereka.
Handphone menjadi sarana yang amat mendukung bagi
kelancaran hubungan mereka. Teknologi yang satu ini ternyata menjadi bumerang
bagi orang-orang yang salah memanfaatkannya. Ia telah sanggup mengubah
kepolosan masyarakat perkampungan menjadi masyarakat yang licik dan penuh
intrik. Ia bisa merubah karakter seseorang, bahkan menggoyahkan iman seseorang
sehingga ia mampu mempreteli sendi yang dapat menghancurkan kekokohan biduk
rumah tangga, yang ujung-ujungnya berimbas kepada anak-anak mereka yang tak
berdosa.
Selain itu, tayangan media visual yang terus menerus
mencekoki mereka dengan gaya hidup hedonisme ikut berpengaruh terhadap perubahan
gaya hidup dan prilaku ini, meskipun setahuku belum ada pembuktian secara
ilmiah untuk menjelaskan korelasinya.
“Subé me’...” suara lelaki kecil dalam
gendongan perempuan itu membuyarkan lamunanku.
Dalam batin aku berkata,
“sabar mbok... jangan bunuh diri dulu... Tuhan Maha Mengetahui...”
Sementara di luar, hujan masih turun
rintik-rintik...
Margojadi, 22 Februari 2012
Pkl 20.28 WIB
Bli : (bhs Bali) kakak laki-laki atau
laki-laki yang
Dituakan.
Juru mangku/Mangku : semacam imam atau
pendeta dalam Agama Hindu
Puré Desé : pura
utama di wilayah suatu daerah, kadang juga
disebut sebagai Puré Bésékh (Pura Besar), selain
juga terdapat Puré Dalém (Pura
Dalam).
Leak :
hantu jadi-jadian dalam tradisi suku Bali, yang
biasanya dilakoni oleh perempuan berilmu hitam.
Konon di malam tertentu (biasanya saat bulan
mati)
mereka
berubah wujud menjadi makhluk
yang
dikehendaki sesuai
dengan tingkatan keilmuan
mereka.
Mereka berkumpul di pemakaman untuk
saling mengadu ilmu kesaktian. Ada juga leak yang
suka mengganggu
bayi dan anak-anak.
Mbok : (bhs Bali) kakak perempuan atau
perempuan yang
dituakan.
Pényéngkér : semacam
buntalan yang dipercayai sebagai jimat,
biasanya digunakan sebagai pelindung secara
magis.
RDL : merk
kosmetik mengandung hidroquinoin yang
dilarang beredar oleh Balai Besar POM namun
faktanya
tetap marak beredar di pasaran. Biasanya
digunakan sebagai pemutih wajah.
Subé me’ : (bhs Bali) sudah bu.
Udéng : ikat
kepala laki-laki khas adat Bali.