Pemuatan cerpen berikut ini, sudah atas perkenan pengarangnya
Wanita
Seindah Hasna’ Tsurayya
“Hasna mau ikut!”
rajuknya kepada Kakaknya itu.
Wajah
kakak laki – lakinya itu masih diam membetut, alisnya bersinggungan
mengkerut – kerut tak jelas.
“Ayolah Kak, Hasna
ikut ya. Hasna kuat kok, sekarung berasnya mbok Ijah aja sanggup
Hasna angkat” jelasnya merayu kakak nya yang tak kunjung luluh.
“Apa karena Hasna
wanita?” katanya kemudian sambil memasang wajah memelas andalannya
berharap Kakaknya mau mengajaknya.
“Iya” akhirnya
Kakaknya yang duduk disampingnya itu mengucapkan satu kata.
Wajah Hasna berubah
seketika dan ia terdiam. Bulan menampakkan jelas malam itu, ada
bercak – bercak seperti noda di dalamnya. Para bintang bertebaran
sepanjang mata memandang di langit. Mereka hanya memanjakan mata
melihat pesona bulan dan para bintang itu, duduk berdua di teras
rumah mereka. Pesona itu sedikit meredam amarahnya untuk kesekian
kalinya dalam menghadapi kakaknya yang kepala batu itu. Hanya hening
yang menjawab antara Hasna dan kakaknya itu.
+++++>
“Aku
benci ama kak Daffa” kalimat itu terlontar tiba – tiba di depan
lelaki bertubuh tegap di sampingnya.
“Apa karena aku
wanita, kenapa wanita selalu dinomor duakan dan dipandang sebelah
mata”
Dan
Hasna berceloteh sendiri di depan Farras. Farras hanya diam dan
terkadang manggut – manggut mengiyakan pernyataan Hasna. Farras
berpikir mungkin si Hasna lagi kejatuhan bulan, maka emosinya labil.
Farras adalah sepupu sekaligus tetangga Hasna.
“Istighfar, Na”
sesekali Farras memotong pembicaraan Hasna yang mulai panjang kali
lebar sama dengan luas itu.
Gadis
berkerudung pink itu akhirnya diam. Hasna berpikir mungkin diam
adalah senjata paling efektif untuk meredamkan emosi.
Matahari makin
condong ke barat, bersembunyi di balik pohon rindang di hadapan
mereka. Jalanan setapak itu mulai sepi. Merekapun mulai berjalan
dengan cepat untuk pulang ke rumah bersama. Wajah mereka sama –
sama terlihat layu. Layu karena lelah menghadapi mata kuliah yang
begitu padat. Namun terkadang wajah Hasna terlihat berpikir keras.
Matanya menatap tajam, bibirnya manyun dan keningnya mulai berkerut.
“Aku terkadang
lelah jadi wanita, aku merasa tidak bebas”
Kata – kata itu
seperti menggores hati Farras. Farras menghentikan langkahnya. Ia
ingin sekali berkata, namun lagi – lagi mulutnya terkatup rapat
seperti ada yang mengganjal di tenggorokannya. Ia kaku sejenak tak
mengira seorang gadis seperti Hasna mengeluarkan kalimat frontal
seperti itu. Farras pun menggerakkan kakinya kembali dan menyusul
Hasna yang sudah mendahuluinya beberapa langkah. Hening lagi – lagi
menjawab.
+++++>
Farras
mengintip dari balik jendela kamarnya, dilihatnya Hasna sedang
membaca buku di depan teras rumah. Farras kemudian mengambil sebuah
buku bersampul putih dan pergi meninggalkan kamarnya.
“Na,
ke gubuk di sawahnya mbok Ijah yuk” tiba – tiba Farras telah
berada di hadapan Hasna.
Hasna
langsung meraih sandalnya dan pergi mengikuti langkah Farras. Letak
sawah Mbok Ijah memang tidak begitu jauh dari rumah mereka. Mereka
sering sekali menghabiskan waktu di sana, apalagi ketika mereka SMP;
memancing bersama dengan Kak Daffa atau membantu panen mbok Ijah.
Suara alam yang
menjernihkan pikiran mulai mereka dengar. Langkah Farras mulai
melambat ketika
tepian
sawah mulai ditapakinya. Kakinya beradu dengan gelagah dan rerumputan
yang rimbun menutupi jalanan setapak itu. Hasna mengikutinya dengan
hati – hati dan menjaga keseimbangan di jalan yang sempit.
Terkadang Hasna harus menjinjing roknya sedikit agar tidak terciprat
lumpur sawah.
Dari
kejauhan mulai terlihat gubuk beratap jerami. Gubuk yang tidak begitu
besar hanya dua kali dua meter terletak di tengah sawah. Matahari
kian meninggi. Jilatan – jilatan senyumnya menciptakan pantulan
kristal di kali kecil. Burung – burung yang sedang sibuk mencari
bulir – bulir padi yang siap panen itu terbang berhamburan ketika
Hasna dan Farras melewati jalan setapak.
“Na, Kak Daffa.
Kapan pulang dari pendakian?” tanya Farras tiba – tiba ketika
sampai di gubuk itu.
“Minggu depan, kok
kamu gag ikut Ras?”
“Banyak tugas”
jawabnya datar.
“Aku jengkel! gag
dapat izin dari kak Daffa”
Farras hanya diam
tidak menanggapi kalimat yang keluar dari mulut mungil Hasna. Farras
hanya mematung menatap pemandangan di hadapannya. Pemandangan hijau
kekuniangan dan biru itu terlukis apik di hadapan mereka, angin
berhawa panas kian riuh mengibarkan jilbab berwarna vanilla milik
gadis berwajah ayu itu. Mereka sibuk dengan buku mereka masing –
masing. Sesekali mereka beranjak membenarkan posisi sambil menengadah
langit dan kemudian melanjutkan bacaan mereka lagi.
“Ada yang ingin
aku klarifikasi Na” celetuk lelaki berkulit putih itu tiba –
tiba.
“Hah” pandangan
Hasna seketika menoleh Farras.
“Kenapa kamu tidak
bersyukur menjadi wanita?” raut muka Farras tiba – tiba makin
serius.
“Aku merasa tidak
bebas, Ras. Apalagi konsep wanita dimata kak Daffa. Wanita bagi kak
Daffa itu seperti dipandang sebelah mata, kaum yang lemah. Pergi
jauh, gag boleh. Pergi malam, dilarang. Sekolah tinggi, ujung –
ujungnya jadi pelayan suami ketika berkeluarga. Belum lagi sakit
datang bulan dan melahirkan. Kak Daffa juga bilang kata hadis
Bukhari. Tidak akan sukses suatu kaum yang mengangkat seorang wanita
sebagai pemimpin “ jelasnya
dengan wajah kesal.
Farras hanya senyum
– senyum mendengar Hasna mulai berbicara tak berhenti.
“Mana di neraka,
spesies paling banyak wanita. Kenapa sih mesti wanita” lanjut gadis
tinggi itu sambil memasang wajah cemberutnya.
“Hushhh…Jadi
kamu beranggapan jadi wanita itu sengsara?” tanya sepupu itu.
“Sedikit…lebih
sengsara dari pria” jawab gadis itu ragu – ragu.
“Ada satu hal yang
kamu lupa dan itu sangat mendasar” Farras mulai menutup buku
bacaannya itu secara perlahan dan melempar pandangannya ke birunya
langit.
“Hah” Hasna
tercengang dan ia mulai menunduk.
“Wanita itu
istimewa. Surga itu di telapak kaki ibu. Ibu adalah seorang wanita.
Setiap pria lahir dari rahim seorang Ibu” Farras melantunkan kata
itu dengan halus.
“Mau dengar
konsepku tentang wanita?” tanya Farras kemudian sambil
memperhatikan Hasna yang mulai berpikir.
“Alloh menciptakan
wanita memang terlihat rapuh dan lembut, namun sebenarnya ia lebih
kuat dari pria. Bayangkan saja wanita lebih lama bekerja dibandingkan
pria. Kau bisa tengok Umi-ku dirumah yang berkerja nonstop
24 jam untuk keluarganya. Banyak orang bilang wanita itu penuh dengan
air mata. Memang, namun air mata itu salah satu untuk mengekspresikan
kegembiraan, penderitaan, kesepian, kegalauan, cinta dan kebanggaan.
Hatinya akan menangis mendengar berita sedih. Ia akan menangis jika
anaknya menjadi pemenang. Ia akan begitu bahagia mendengarkan
kelahiran. Ia dapat tersenyum bahkan hatinya sedang menjerit.
Menyanyi walau hatinya menangis. Ia akan selalu tampak tegar
menyemangati suaminya ketika gagal. Ia selalu punya kekuatan untuk
mengatasi hidup. Ia tahu bahwa sebuah pelukan untuk suaminya dan
untuk keluarganya dapat menyembuhkan luka”.
“Ternyata
pikiranku sangat sempit” kata gadis itu sambil memainkan ujung
jilbabnya dengan jari – jemarinya. Hasna mencermati setiap
perkataan Farras. Air matanya mulai mengalir membelai wajah ayunya.
Farras hanya diam sejenak dan melanjutkan perkataannya.
“Aku pernah
membacanya dari internet” kemudian Farras melanjutkan kata –
katanya.
Wanita…dengan
kecantikanmu, ia lebih elok dari matahari.
Dengan akhlakmu
engkau lebih harum dari haruman.
Dengan rendah
hatimu, engkau lebih tinggi dari rembulan.
Dengan
kelembutanmu, engkau lebih halus dari rintik hujan.
“Aku ingin jadi
wanita sholehah” desah gadis itu, ia pun tersenyum dan wajahnya
mulai tampak berseri seperti mentari yang mulai muncul dari balik
ilalang.
Farras hanya
tersenyum simpul melihat saudari yang dikasihinya itu. Angin mengalun
– alun ditelinga mereka, menyesap dari sela – sela padi yang
makin menua. Sibakan – sibakan padi itu serempak mengikuti arah
angin. Awan seputih kapas itu terlihat merubah diri setiap detik
mirip dengan benda maupun makhluk dikehidupan. Mentari mulai bergeser
dari posisinya dan akan bertemu dengan cakrawala di ufuk barat. Rona
– rona sepia mula terkanvas menyemburat di langit yang mulai
kelabu.
++++>
“Assalamuallaikum”
Suara
yang begitu dikenal Hasna itu terdengar sayup di balik pintu
rumahnya.
“Wallaikumsalam”
balas Hasna dengan segera membukakan pintu untuk Kakaknya itu.
Hasna mengambil
segelas air putih dari dapur dan kembali menemui kakaknya itu.
Kemudian ia sibuk kembali menyetrika pakaian. Wajah kakaknya seakan
penuh tanya. Sepertinya ada yang berubah dari adik yang biasanya
kritis itu. Daffa masih memandang wajah Hasna dan berpikir hal apa
yang merubah sifat adiknya yang biasanya marah – marah jika
keinginannya tidak dipenuhi menjadi begitu berseri.
“Sebenarnya kakak
mau mengajak kamu naik gunung itu, Na. Tapi…semuanya kan teman
cowok kakak jadi…” kata pria berahang jelas seperti tepian es
itu.
“Hasna tahu. Kakak
pasti tahu yang terbaik untuk Hasna. Hasna bersyukur kok menjadi
wanita” jawab gadis itu sambil tersenyum manis memandang keluarga
kandung satu – satunya itu.
Mereka memandang
satu sama lain dengan penuh makna. Berbalas senyum persaudaraan yang
mungkin telah lama mereka tak lakukan setelah Ayah dan Ibunya
meninggal karena kecelakaan beberapa tahun yang lalu.
“Kamu tahu, Na.
Kenapa Ayah dan Ibu memberimu nama Hasna Tsurayya?” tanya Daffa
sambil melepaskan kedua sepatunya.
Hasna menghentikan
sejenak kegiatan menyetrikannya.
“Hmm…artinya
kumpulan bintang yang indah?” jawab Hasna sambil menggaruk
kepalanya padahal tidak terasa gatal.
“Ayah dan Ibu
ingin kamu seperti itu. Wanita yang indah dipandang tapi sulit diraih
seperti kumpulan bintang yang indah. Wanita itu istimewa, Na”
terang kakaknya yang mulai bangun dari tempat duduknya sambil
membereskan peralatan kemahnya.
“Wanita itu
sesuatu yang paling sulit untuk dijaga karena dia itu sangat
berharga. Talmud Hibrani pernah menerangkan untuk tidak boleh membuat
wanita menangis karena Tuhan menghitung butir – butir air matanya.
Kalau pernyataan ini kamu pasti sering dengar, wanita itu diciptakan
dari rusuk lelaki, bukan dari kakinya untuk menginjaknya, tidak dari
kepalanya untuk menguasainya, tetapi disisinya agar keduanya menjadi
setara, dalam dekapanya untuk melindunginya, dalam relung hati untuk
mencintainya” terang kakaknya sembari mondar – mandir ke kamar
mandi membereskan pakaiannya.
“Tenang, kak! Aku
bangga menjadi wanita apalagi jika bisa seindah Hasna’ Tsurayya”
desah gadis sunda itu dengan senyum manjanya yang khas kepada
kakaknya yang dicintainnya.
“Jadilah gadis
yang baik hingga kau menemukan suamimu dan jadilah istri dan ibu yang
baik pula, Na. Selalu pelihara sifat baikmu dan rubahlah perlahan
sifat yang dibenci Alloh” kata kakaknya kemudian menghilang ke arah
dapur.
Kata – kata
kakaknya itu akan diingat Hasna selalu.
Pengarang :
Nama : Yuni Ambarwati Atmo
Nama : Yuni Ambarwati Atmo
Nama
Pena : Amrana Adibah Atmo
TTL :
Kota Agung, 10 Juni 1989
Alamat
: Desa Serdang Blok 4 A, RT 01/ RW 04 Kec. Tanjungbintang Kab.
Lampung Selatan, Lampung Kode Pos 35 361
Kantor : Puskesmas Margojadi, Kec. Mesuji Timur Kab. Mesuji
No. handphone : 085381236xxx/085768643xxx
No. handphone : 085381236xxx/085768643xxx
E-mail :
yuniambarwatiatmo@yahoo.com
Alamat
Jejaring : Facebook/Yuni Ambarwati
Twitter/Hasna
Tsurraya
Namaku
Yuni Ambarwati, namaku di dunia kepenulisan Amrana Adibah Atmo,..
hehe. Tidak tahu dapat hikmah apa namanya jadi bagus begitu. Yang
pasti aku ingin berkreasi disunia seni dan menciptakan sesuatu yang
indah. Makhluk yang serba kurang proporsional dan pencinta film yang
sering berandai-andai jadi film maker. Lalu berpikir untuk memulainya
dengan menulis, karena juga memiliki hoby merangkai kata, ternyata
malah jatuh cinta dengan dunia ini. I’m only a little girl tapi
berharap memiliki imajinasi besar dan menjadi penulis sungguhan.
___________________________________________________________________________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar