Kamis, 18 Oktober 2012


JANGAN RENGGUT SUAMIKU!
By QQ


“Berbeda jauh dengan kakakku, aku adalah salah satu contoh gagal asimilasi perkawinan,”
“Semua berawal sejak dia punya hp baru...” perempuan yang duduk sekira dua meter di depanku itu mulai angkat suara. Sejurus ia terdiam. Tatapan matanya seolah menerawang ke masa lalu.
Sementara di luar,  hujan mulai turun rintik-rintik. Seolah mengerti kesedihan hati dan rasa gundah yang mendera.

Aku keturunan Jawa, dua bersaudara yang kini telah ditinggalkan kedua orang tua. Aku mengenal pria yang  menjadi suamiku, ketika aku pulang libur hari raya Idul Fitri lima belas tahun yang lalu. Aku masih ingat, ketika ia tiba-tiba datang bersama keluarganya untuk melamarku. Entah kekuatan apa yang mendorongku untuk menerima lamarannya, sedangkan ketika itu adalah tahun terakhir sekolahku... nasehat orang tua, tidak mampu lagi mengubah ketetapanku.

***

“Pa... bsk hr pasarn. Aku malu keluar. Mukaku sdh kukompres dgn daun pisang sprti saran papa, tp ttp g ada perubhn... gmn ni pa?”
Kira-kira seperti itulah 126 karakter pesan singkat yang tertulis di layar handphone suamiku. Nomor yang tertera di sana tanpa nama. Ketika kutanyakan hal itu kepada suamiku, dia hanya berkata, “ah... itu sms dari orang yang salah kirim... itu sms dari orang iseng.”
Mendapat jawaban demikian aku hanya bisa terdiam. Aku masih percaya apa kata suamiku.
Namun keesokan paginya, nomor yang sama kembali mengirim sms ke handphone suamiku. Di situ tertulis, “Pa... Gmn ini? Aku malu ke luar... ini gara-gara RDL itu
Penasaran, kuhubungi nomor telpon itu... di seberang sana, suara seorang perempuan menjawabnya... dan orang yang memanggil suamiku dengan sebutan ‘papa’  itu ternyata adalah tetangga kami. Dia tinggal tujuh rumah dari rumah kami.
Meski wajahnya cukup ‘pasaran’, namun karena genit dan berduit, tetanggaku itu termasuk ke dalam golongan perempuan yang lumayan cantik. Mungkin penilaian itu yang ada di dalam otak suamiku.
Gelagat perubahan tingkah suami sebenarnya telah terasa semenjak acara sesaji tiga bulanan anak bungsu kami. Awal mulanya aku tidak percaya akan gunjingan ibu-ibu. Mereka bilang suamiku telah berselingkuh dengan perempuan itu. Kata para tetangga, ada yang pernah memergoki mereka naik motor berboncengan dengan mesra. Tidak hanya satu dua orang yang pernah menjumpainya. Bahkan keponakanku sendiri pernah ketemu mereka pada acara pasar malam yang berlangsung di kecamatan sebelah. Mungkin, sudah  banyak tempat yang telah menjadi saksi bisu pertemuan mereka.
Pagi pamit kerja sebagai mandor panen di perkebunan sawit, tapi pulangnya tengah malam bahkan tak jarang pulang pagi hari. Otomatis tudung saji tak pernah disentuhnya.
Sempat terbersit sebuah pertanyaan di kepalaku, “kira-kira mandor panen apa yang pulangnya pagi?”
Selain itu, mabuk, adu ayam dan judi menjadi kebiasaan baru suamiku. Pos ronda menjadi tempat favorit suami dan teman-temannya untuk berjudi. Bahkan yang kutahu, oknum anggota polisi juga turut serta dalam arena judi itu.
Kini gajinya tak pernah singgah ke rumah barang seperak. Untuk mencukupi kebutuhan dapur, aku terpaksa ikut bekerja serabutan. Kadang menjadi buruh di perkebunan kelapa sawit, dilain waktu menjadi buruh di pabrik roti.
Mengetahui perempuan sundal itu yang menjawab telpon, aku maki-maki dia. Aku ancam dia agar tidak mengganggu suamiku lagi. Namun tanpa dinyana, dari belakang muncul suamiku. Dia memukul, menjambak rambutku, kemudian mendorongku hingga menabrak meja. Melihat keadaanku, bukannya berhenti dia malah menendang, meninju wajah dan mencekik leherku.
Anak sulung kami berusaha mencegah bapaknya memukuli aku... tapi entah ketempelan setan apa, dia selayaknya orang kesurupan malah memukuli si sulung seolah ingin membunuhnya.
“Biarlah bli memukulku, atau silakan bli membunuhku... tapi jangan sekali-kali bli memukul anak-anak...” pintaku kepada suami agar dia berhenti memukuli Wayan.
Sejak kejadian itu, handphone suami tidak pernah lepas dari tangan. Makan, mandi, bahkan buang airpun dibawanya serta.
Malam itu kampung kami geger. Dikeremangan malam, tetangga melihat seseorang ber-udeng melompat keluar dari rumah perempuan itu melalui jendela samping.
”Maliiing... maliiing...!!” ramai orang berteriak-teriak.
Patok kayu di sisi jalan yang biasa menjadi hiasan kampung menjelang Tujuh Belas Agustus berubah menjadi senjata digenggaman. Hanya aku yang tahu... orang yang disangka maling itu adalah suamiku.
“Dor... dor... dor... “ suara pintu depan digedor dengan kasar.
Pekerjaan dapur segera aku tinggalkan. Tergesa-gesa aku membukanya. Di balik pintu berdiri bli  Nyoman, tetanggaku, suami perempuan itu. Dia lemparkan pényéngkér rumah di tangan kirinya ke hadapanku sambil berteriak-teriak mencari suamiku yang kebetulan baru saja pergi.
“orain somah nyaine... de ngganggu-ngganggu somah anak!”[1] bentaknya sambil mengacungkan parang.
Untuk menghibur diri sendiri, aku menganggap mungkin suami mendekati perempuan itu sebagai prasyarat dia sebagai dukun, mengingat perempuan itu adalah juga anak seorang dukun. Di dusun kami, ibu perempuan itu terkenal sebagai leak.
Ku katakan kepada suami, kalau memang dia mencintai perempuan itu.. silakan saja dia bicara baik-baik dan berterus terang kepadaku. Aku ikhlas dicerai. Yang penting dia masih mau membiayai hidup ketiga anak kami. Tapi bukannya keterusterangan yang aku peroleh, dia malah marah-marah tak karuan, kemudian menendang dan memukuliku.
Bukannya tidak sakit, sakit... sangat sakit dan tersiksa batin ini.
Tapi mengingat ketiga anak kami, aku mencoba bertahan. Siapa tahu kelakuan suami bisa berubah. Tapi ternyata... bukannya berubah. Kelakuannya malah semakin menjadi-jadi. Dia berani berbuat serong di  depan mataku. Dia menganggap seolah aku tak ada.
Karena perlakuannya yang kasar, aku merasa lebih aman dan nyaman apabila suami tidak ada di rumah.
Dulu setiap malam, rumah kami tidak pernah sepi dikunjungi tetangga yang sekedar bersilaturahmi. Karena suamiku termasuk orang yang disegani. Dia pernah menjadi Juru Mangku Puré Desé. Setelah tidak menjadi Mangku, dengan kemampuan yang entah dari mana asalnya, dia menjadi ‘orang pintar’ di kampung kami. Tapi kini setelah mereka tahu kelakuan suami, keadaan telah berubah. Kini rumah kami laksana kuburan. Tidak ada satu orangpun yang mau menjejakkan kaki mereka ke halaman rumah kami... tidak seorangpun...
Sering sebelum tidur, sembari berbaring aku menangis, memikirkan nasibku yang seperti ini. Aku hanya bisa mengadu ke arwah kedua orang tua. Andai dulu aku mau mendengar nasehat mereka.
Kadang kala menyelinap perasaan ingin mengakhiri hidup ini... aku sudah tidak kuat lagi... beban hidupku sudah terlalu berat... aku sudah terlalu penat... aku sudah menyerah mempertahankan suamiku...

***

Memang sudah menjadi rahasia umum, bahwa penyakit kelamin adalah “penyakit unggulan” bagi para pekerja di perkebunan. Bagaimana tidak? Berganti-ganti pasangan sudah menjadi hal lumrah di kalangan mereka. Biasanya mereka terlibat affair dengan sesama  buruh perkebunan. Atau apabila pekerja perkebunan itu adalah perempuan yang ‘agak licin jidatnya’, maka ia akan terlibat affair – walaupun tidak bisa digeneralisasi - dengan kuli bongkar muat buah sawit, sopir, mandor atau bahkan dengan asisten kebun.
Motif mereka tentu beragam. Ada yang bermotif ekonomi, kurangnya kasih sayang di rumah (suami di rumah yang ‘penyakitan’), atau memang sifat yang dibawa sejak lahir -suka berpetualang-. Dosa seolah hanya cocok ditulis atau diucapkan di sekolah ataupun di pengajian.
Keberadaan mereka cukup gampang kita kenali. Bagi buruh perempuan, biasanya mereka menggunakan bedak dan gincu tebal ketika berangkat kerja ke perkebunan. Dandanan mereka ibarat orang yang mau kondangan saja. Meskipun setelah pulang, bedak dan gincu itu sudah tak berbekas entah ke mana. Selain itu kata-kata mereka terkesan genit, nyerempet-nyerempet mesum dan penuh rayuan.
Sedangkan bagi yang laki-laki, kita akan mengalami sedikit kesulitan untuk mengidentifikasinya. Keberadaan mereka hanya bisa kita ketahui dengan sedikit agak lama untuk sekedar mengobrol dengan mereka, karena dari pembicaraan itulah kadang-kadang secara tidak sadar mereka membongkar sendiri rahasia ‘petualangan’ mereka.
Handphone menjadi sarana yang amat mendukung bagi kelancaran hubungan mereka. Teknologi yang satu ini ternyata menjadi bumerang bagi orang-orang yang salah memanfaatkannya. Ia telah sanggup mengubah kepolosan masyarakat perkampungan menjadi masyarakat yang licik dan penuh intrik. Ia bisa merubah karakter seseorang, bahkan menggoyahkan iman seseorang sehingga ia mampu mempreteli sendi yang dapat menghancurkan kekokohan biduk rumah tangga, yang ujung-ujungnya berimbas kepada anak-anak mereka yang tak berdosa.
Selain itu,  tayangan media visual yang terus menerus mencekoki mereka dengan gaya hidup hedonisme ikut berpengaruh terhadap perubahan gaya hidup dan prilaku ini, meskipun setahuku belum ada pembuktian secara ilmiah untuk menjelaskan korelasinya.
 Subé me’...” suara lelaki kecil dalam gendongan perempuan itu membuyarkan lamunanku.
Dalam batin aku berkata, “sabar mbok... jangan bunuh diri dulu... Tuhan Maha Mengetahui...”

Sementara di luar, hujan masih turun rintik-rintik...


Margojadi, 22 Februari 2012
Pkl 20.28 WIB

Bli                               : (bhs Bali) kakak laki-laki atau laki-laki yang
  Dituakan.
Juru mangku/Mangku : semacam imam atau pendeta dalam Agama Hindu
Puré Desé                    : pura utama di wilayah suatu daerah, kadang juga
  disebut sebagai  Puré Bésékh (Pura Besar), selain
  juga terdapat Puré  Dalém   (Pura Dalam).
Leak                            : hantu jadi-jadian dalam tradisi suku Bali, yang
  biasanya dilakoni oleh   perempuan berilmu hitam. 
  Konon di malam tertentu (biasanya saat bulan mati) 
  mereka  berubah wujud  menjadi makhluk yang
  dikehendaki  sesuai  dengan tingkatan keilmuan
  mereka. Mereka berkumpul di  pemakaman untuk
  saling mengadu ilmu kesaktian. Ada juga leak yang
  suka  mengganggu bayi dan anak-anak.
Mbok                           : (bhs Bali) kakak perempuan atau perempuan yang
                                      dituakan.
Pényéngkér                 : semacam buntalan yang dipercayai sebagai jimat,
  biasanya digunakan sebagai pelindung secara
  magis.
RDL                            : merk kosmetik mengandung hidroquinoin yang
  dilarang beredar oleh  Balai Besar POM namun
  faktanya  tetap marak beredar di pasaran. Biasanya
  digunakan sebagai pemutih wajah.
Subé me’                     : (bhs Bali) sudah bu.
Udéng                         : ikat kepala laki-laki khas adat Bali.



[1] “omongi suamimu... jangan mengganggu-ganggu istri orang!”